(Terilhami dari curahan
hati orangtua yang anaknya divonis menderita Down Syndrome)
Ada 2 keadaan : kesusahan dan bencana... dan juga
2 suratan : kenikmatan dan kebahagiaan...
** Kamu tidak mengetahui barangkali Allah
mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru (QS. Ath-Thalaq :1) **
Anak adalah karunia terbesar yang diberikan sang
Pencipta kepada manusia. Dalam menciptakan manusia, Allah punya rahasia
tersendiri. Ada yang dilahirkan normal dan ada pula yang dilahirkan istimewa,
salah satunya adalah anak-anak yang dilahirkan sebagai tunadaksa.
Saat anak kita lahir, tentunya perasaan kita
sangat senang, bahagia, lega, dan entah perasaan apalagi bercampur aduk menjadi
satu, terutama sang ibu. Namun kebahagiaan itu bisa lenyap begitu saja oleh
sepatah kata dari dokter: down syndrome, autis, atau apa pun yang intinya
mengatakan bahwa bayi yang baru lahir itu kelak akan menjadi seorang tunadaksa.
Kebahagiaan itu tiba-tiba lenyap seperti tersapu angin. Mendapatkan anak dengan
kelainan merupakan pukulan tersendiri bagi orang tua. Rasa sedih, tidak dapat
menerima kenyataan, sampai depresi dan ingin bunuh diri adalah reaksi yang
seringkali dan pasti ditemui pada orangtua yang anaknya mengalami kelainan.
Sesungguhnya, yang disebut cacat itu bukanlah
kelemahan fisik atau mental. Anak-anak itu -tanpa melakukan apa-apa-, dengan
segala keterbatasan –hanya dengan senyumannya- mampu menyadarkan kita bahwa
masih ada keajaiban di muka bumi ini, bahwa masih ada sesuatu yang layak kita
syukuri.
** Adakalanya Allah memberikan kenikmatan kepada
suatu kaum dengan ujian yang berat, adakalanya Dia menguji suatu kaum dengan
kenikmatan yang besar ***
Mereka adalah anak-anak dari surga. Mereka datang
diantara kita untuk menunjukkan kebesaran Allah, menguji sejauh mana kesabaran
dan keikhlasan kita dan menjadi “sarana” kita mengenal dan mengingat Allah.
Bukankah sahabat terbaik adalah sahabat yang kala
menatapnya, kita teringat pada Allah? Seperti itu juga seorang anak. Anak
terbaik adalah anak yang kala orangtua menatapnya, mereka ingat pada Allah.
Bukankah seperti itu juga yang dilakukan anak-anak istimewa itu? Dengan segala
keterbatasannya, mereka mampu membuat kita berucap “Subhanallah”, bahkan untuk
hal-hal kecil yang mampu mereka lakukan.
** Pada setiap sesuatu ada tanda yang menunjukkan
ke-esa’an NYA... Terimalah realita yang harus dihadapi dan berbahagialah dengan
apa yang telah engkau peroleh, bersikap ridhalah atas bagian yang di berikan
Allah kepadamu **
Anak-anak tunadaksa seperti biola tak berdawai.
Mereka mempunyai keindahan tersendiri. Mereka mempunyai nada-nada, suara-suara
tersendiri, tapi mereka tak mampu menyuarakannya seperti kita berteriak pada
dunia. Mereka punya jiwa, punya hati. Mereka punya dunia sendiri yang tidak
mungkin bisa kita masuki, tapi bukan berari TIDAK BISA kita pahami. Jiwa
disentuh dengan jiwa, hati disentuh dengan hati... Mengapa tidak kita ambil
saja manfaat dari semua kenikmatan yang telah Allah kirimkan kepada kita?
** Betapa banyak kenikmatan yang tidak disyukuri
karena terlindung di balik bayang-bayang **
Memang bukan hal yang mudah menjalani peran
sebagai orangtua dari anak-anak istimewa itu. Itu bisa menjelaskan mengapa
masih saja bayi-bayi berkepala besar, berwajah mongoloid, dan kelainan-kelainan
yang ditemukan di tempat sampah atau di depan pintu panti asuhan. Kita tidak
bisa serta merta menyalahkan orangtua yang membuang anaknya seperti itu, bisa
saja mereka berpikir bahwa mungkin nasib anaknya akan jauh lebih baik bila
ditemukan dan dirawat orang lain daripada dirawat sendiri oleh mereka.
Tapi tetap saja miris rasanya hati ini jika
membayangkan bayi-bayi itu ditinggalkan begitu saja di tempat sampah atau di
depan pintu panti asuhan... Bukankah cinta adalah berarti mau menerima dalam
kondisi apa pun dan melakukan yang terbaik untuk membuat orang yang kita cintai
bahagia?
** Bila anak terjatuh, jangan habiskan waktu untuk
menangis dan meratapinya, namun hendaklah segera mengurus luka anak itu **
No comments:
Post a Comment