Natal adalah kota kecil yang jauh dari hiruk-pikuk keramaian sebagaimana kota besar namun tenang dan nyaman. Termasuk dalam bagian propinsi Sumatera Utara. Selama 5 bulan (Februari 20012 - Juni 2012) saya pernah menjalani kehidupan di kota Natal. Berbaur dengan masyarakat berbagai suku (Minang, Melayu, Jawa, Natal) menciptakan "warna" tersendiri dalam diri saya yang akhirnya menjadi suatu kenangan tak terlupakan selepas saya kembali dari sana.. Sepulang dari Natal, saya terobsesi untuk mencari tau lebih banyak tentang Natal, yang mana saat disana pernah saya dengar bahwa dulunya kota tersebut pernah di datangi bangsa portugis. Salah satu peninggalan sejarah yang pernah saya dapati di sana adalah Meriam Raffles. Berikut hasil "pencarian" saya tentang sejarah kota Natal yang saya ambil dari Tabloid Rakyat Madani, yang di terbitkan oleh Sekretariat DPRD kab. Mandailing Natal (http://tabloidrakyatmadani.wordpress.com/sejarah-kota-natal/)
Banyak pendapat yang berbeda seputar cikal sebutan nama Natal bagi kota Natal yang kini terletak di pesisir Kabupaten Mandailing Natal (Madina). Ada yang menyebut sebutan Natal kali pertama dituliskan oleh bangsa Portugis yang datang ke Pantai Barat. Ada pula yang menyebut kata Natal berasal dari ungkapan bahasa Mandailing: Nadatarida atau juga ada yang menyebut ungkapan bahasa Minangkabau: Tanah nan Data(r).
Pendapat penyebutan kata “Natal” oleh bangsa portugis itu terkait kengototan pada fakta sejarah penemuan wilayah Natal antara Inggris dengan Portugis yang kontroversial. Inggris mengklaim menemukan Natal pada tahun 1762. Sedangkan Potugis mengklaim bahwa merekalah yang memberikan nama pada daerah itu, ketika kedatangan mereka di sana untuk pertama kalinya, sekitar tahun 1492-1498 bersamaan dengan Hari Raya Natal.
“Yang jelas, pada abad ke-8 di daerah sekitar Natal telah berdiri Kerajaan Rana Nata dengan salah satu rajanya bernama Rajo Putieh atau biasa dipanggil Ranah Nata. Disebut-sebut, dia adalah orang Persia yang menyebarkan agama Islam di sana”. (Ahmad Arif/ (Harian Kompas edisi 16 Desember 2005).
Puti Balkis Alisjahbana (adik kandung Sutan Takdir Alisjahbana) mengatakan kata Natal berasal dua ungkapan pendek masing-masing dari bahasa mandailing dan Minangkabau. Ungkapan bahasa Mandailing Natarida (yang terlihat) dari lereng Sorik Marapi. Menginagtkan kita ketika orang Mandailing memandang dari kawasan lereng gunung sorik marapi ke arah hamparan Natal. Sampai kini masih banyak orang mandailing menyebut Natal dengan sebutan Nata r(Alisjahbana,1996:42-44). Ungkapan bahasa Minangkabau ranah nan data(r) yang artinya daerah yang datar (Alisjahbana,1996:43).
M. Joustra, tokoh Bataks Institut, juga menulis Natal dengan sebutan Natar dalam tuliasannya De toestanden in Tapanoeli en de Regeeringscommissie (1917). Lebih tua dari itu adalah laporan perjalanan dan penelitian Dr S Muler dan Dr L Horner di Mandailing tahun 1838. mereka menggambarkan keadaan Air Bangis yang dikuasai Belanda sejak tahun 1756 dan Natar yang dikuasai Inggris 1751-1756 (Muller,1855:63,84/Madina Madani,2004).
Kota Pemerintahan
Jika ditinjau dari fakta sejarah dan fakta terkini, Natal selalu menjadi pilihan sebagai basis pemerintahan di kawasan Pantai Barat. Lebih dari itu Natal juga telah menjadi pusat pendidikan dan perdagangan di kawasan Pantai Barat sejak berabad-abad lalu.
Terkini, bisa dilihat dari pilihan pemerintah Pemerintah Provinsi Sumut yang menetapkan lokasi mess mereka di kota Natal. Pemerintah Kabupaten Madina juga membangun mess Pemkab Madina kota ini. Tentunya, pilihan itu berdasarkan pertimbangan dari berbagai sudut alasan dan kelayakan.
Pada situs-situs di internet menyebutkan bahwa dahulu Natal adalah kota pelabuhan penting di muara Batang (Sungai) Natal, tempat berlabuh kapal-kapal besar. Gambaran itu dikisahkan William Marsden yang pernah tinggal di sana beberapa tahun, dalam bukunya The History of Sumatera yang terbit di London tahun 1788.
Marsden bertutur, Natal adalah basis yang nyaman untuk berdagang dengan Aceh, Riau, dan Minangkabau. Semua itu membuat Natal jadi kota yang padat dan makmur. Daerah ini juga memiliki emas yang sangat baik-hingga kini, sejumlah penambang emas tradisional masih bisa ditemui di Batang (Sungai) Natal maupun di kawasan hutan sekitar Natal.
Dalam dokumen Tim Persiapan Pemekaran Pantai Barat juga disebutkan bahwa pemerintah Hindia Belanda di masa kolonial menetapkan wilayah Pantai Barat berada dalam suatu distrik, yakni distrik Natal dibawah Onder Afdeling Mandailing dan Natal. Distrik ini kemudian dibagi atas beberapa onder distrik. Onder distrik dibagi atas beberapa luhat (kekuriaan) yang dipimpin oleh seorang kepala luhat (kuria).
Dan tiap-tiap luhat dibagi atas beberapa kampung yang dipimpin oleh seorang kepala Hoofdyang. Apabila kampungnya memiliki penduduk yang banyak, akan dibantu oleh kepala Ripe.
Selanjutnya, pada tahun 1950 terbentuklah Kabupaten Tapanuli Selatan yang terdiri dari 11 kecamatan, dua diantaranya berada pada wilayah Pantai Barat. Yakni, Kecamatan Natal dan Kecamatan Batang Natal.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa kecamatan yang berdiri kali partama di wilayah Pantai Barat adalah Natal dan Batang Natal.
Pada tahun 1992 Kecamatan Natal dipecah menjadi tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Natal, Kecamatan Batahan dan Kecamatan Muara Batang Gadis. Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2002, Kecamatan Batang Natal dipecah lagi menjadi dua kecamatan, yakni Kecamatan Batang Natal dan Kecamatan Lingga Bayu. Sesuai Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2007 dua kecamatan dimekarkan. Yakni Kecamatan Batahan dipecah menjadi dua
kecamatan yaitu Kecamatan Batahan. Kecamatan Sinunukan dimekarkan menjadi dua kecamatan yaitu Kecamatan Lingga Bayu dan Kecamatan Ranto Baek.
Bekas bangunan kantor kontrolir yang ditempati Dowes Dekker atau lebih dikenal dengan sebutan Multatuli masih berdiri di Natal. Sekitar tahun 1850-an kota Natal menjadi kawasan sangat ramai sebagai dampak melimpahnya hasil kopi di Mandailing yang digalakkan Asisten Residen Mandailing Angkola Philipis Godon yang berkedudukan di Panyabungan.
Godon membuka jalur dari Mandailing ke Natal untuk kepentingan pengangkutan kopi ke pelabuhan laut di Natal. Kopi itu dikapalkan ke Eropa melalui pelabuhan Sikara-kara yang saat itu dapat disinggahi kapal-kapal besar.
Wilayah ini merupakan bagian dari wilayah pemerintahan kolonial Belanda yang terkenal dengan sebutan Sumatras Weskust. Keharuman nama itu terkait dengan keharuman kopi Mandailing.
Perkembangan kota Natal yang agak signifikan di abad XIX dimulai pada tahun 1840-an ketika Asisten Mandailing Angkola, Philipis Godon yang berkedudukan di Panyabungan merehabilitasi jalur dari Mandailing ke Natal dalam memperlancar pengangkutan kopi yang saat itu melimpah di Mandailing untuk diangkut ke Eropa melalui pelabuhan di Natal.
Rehabilitasi jalan Mandailing-Natal ini dilakukan Godon sebagai dampak terjadinya reorganisasi pemerintahan kolonial pada tahun 1843, berupa penghapusan residensi Air Bangis dengan membentuk Residensi Tapanuli. Air Bangis dan Rao masing-masing masuk ke Residensi Padang, sedangkan Mandailing Angkola masuk Residensi Tapanuli.
“Maka, jalur Mandailing-Air bangis itu dihentikan. Alternatif terakhir ialah merehabilitasi jalur Mandailing-Natal menghubungkan Mandailing dengan Natal melalui kaki gunung Sorik Marapi terus ke arah Natal” (Godon,1862:9-10/Basyral Hamidi).
Pelabuhan di Natal menjadi penting bagi kolonial dalam upaya memperlancar angkutan kopi ke Eropa. Situasi ini berdampak pada semakin berkembangnya pula kota Natal saat itu.
Administrsi Kolonial Belanda
Dari sisi administrasi pemerinatahan, pihak kolonial Belanda menetapkan kota Padangsidimpuan sebagai ibu kota Afdeeling Padangsidempuan yang dibagi menjadi tiga Onderafdeeling. Ketiga Onderafdeeling itu ialah Onderafdeeling Angkola en Sipirok beribukota di Padangsidimpuan. Onderafdeeling Padang Lawas beribukota di Sibuhuan yang kemudian pindah ke Gunung Tua.
Onderafdeeling Mandailing en Natal berkedudukan di Kotanopan saat itu. Tiap Onderafdeeling terbagi dalam beberapa Onderdistrct. Onderafdeeling Mandailing en Natal dibagi dalam lima Onderdistrict, masing-masing Onderdistrict Panyabungan ibukotanya di Panyabungan, Onderdistrict Kotanopan ibukotanya di Kotanopan, Onderdistrict Muarasipongi ibukotanya di Mauarasipongi, Onderdistrict Natal ibukotanya di Natal , Onderdistrict Batang Natal ibukotanya di Muara Soma.
Pantai Natal
Pusat Pendidikan
Agama Islam berkembang di Madina (Mandailing Natal) melaui ulama-ulama sufi. Para ulama di daerah ini ada yang belajar di Pantai barat dan Pantai Timur, kemudia mereka mengembangkan agama Islam di Natal dan Mandailing.
Syekh Abdul Fatah bermarga Mardia (1765-1855) adalah ulama besar yang turut mengembangkan Islam di Natal. Ketika masih belia, Syekh Abdul Fatah tinggal di rumah Tuan Syekh Zainal Abidin memperdalam ajaran Islam dan tasawuf. Syekh Zainal Abidin sendiri adalah ulama di barumun yang kemudian turut mengembangkan ajaran Islam di Mandailing atas permohonan Sutan Kumala Yang Dipertuan Hutasiantar di Panyabungan.
Syekh Abdul Fatah selanjutnya mengembangkan Islam bukan sja di mandailing, tetapi juga di Pantai Barat, khususnya Natal. Ulama ini memilih tempat membangun kediamannya di kawsan perbukitan kira-kira 2 kilo meter dari jaan raya Natal di titik Kampung Sawah saat ini.
Banyak yang berpendapat bahwa Syekh Abdul Fatah lah yang mengajarkan cara belajar membaca huruf Al Qur’an dengan gaya berlagu. Gaya itu hingga kini masih terkenal di wilayah Mandailing Natal. Yakni, alif date a, alif bawa i, alif dopen u: a-i-u. ba date ba, bab bawa bi, ba dopen bu: ba-bi-bu. Ta date ta, ta bawa ti, ta dopen tu: ta-ti-tu. Ban dua date ban, ba dua bawa bin, ban dua dopen bun: ban-bin-bun. Tan dua date tan, ta dua bawa tin, tan dua dopen tun: tan –tin-tun (Basyral Hamidi-2004).
Syekh Abdul Malik (1825-1910) berasal dari Muara Mais, terkenal sebagai Baleo Natal. Dia puluhan tahun mengembangakan ajaran Islam di Natal. Dia adalah murid Syekh Abdul Fattah. Meski sempat hijirah ke Huatasiantar (Panyabungan) di usia mudanya, namun sebagian besar umur hidupnya berada di Natal hingga wafat dan dikebumikan di Pemakaman Bukit Kayu Aro di bagian timur Natal.
Batara R Hutagalung dalam makalahnya yang disampaikan pada Seminar “Perang Paderi, 1803 – 1838. Aspek Sosial Budaya, Sosial Psikologi, Agama dan Manajemen Konflik” tahun 2008 lalu menyebutkan Natal sudah menjadi pusat pendidikan jauh sebelum pergerakan Paderi di Minangkabau.
“Reputasi Natal sebagai pusat perguruan Islam di Pantai Barat Mandailing telah dibuktikan oleh Tuanku Lintau, tokoh legendaris Paderi yang belajar agama Islam di Natal, sebelum ia menceburkan diri dalam gerakan Paderi,” ungkap Batara Hutagalung di makalah itu. Makalah itu diarsipkan pada Arsip Nasional RI pada 22 Januari 2008.
Bahwa Natal di Pantai Barat Mandailing sebagai tempat pertama Tuanku Lintau menimba ilmu agama Islam memperjelas Natal telah menjadi pusat pendidikan. Bahkan juga bisa menepis anggapan perang Paderi bukanlah gerakan Islamisasi di Mandailing. Karena berabad sebelum timbulnya gerakan Paderi, ulama-ulama sufi telah mengajarkan agama Islam kepada orang Mandailing dan Natal.**
Jajanan khas Natal
RSUD Natal
No comments:
Post a Comment